Rabu, 21 Juni 2017

Empat Tantangan Demokrasi Digital (bagian 2) Oleh: Fayakhun Andriadi

Menurut Fayakhun Andriadi, laju kemajuan di bidang teknologi saat ini berjalan begitu cepat. Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta ini kemudian membahas laju perkembangan teknologi tersebut beserta hubungannya dengan dunia politik. Dalam pandangannya, elemen penting dalam masyarakat jika tidak mampu menyerap laju perkembangan teknologi akan semakin terpinggirkan untuk kemudian tersingkir. Hal yang sama juga terjadi di dunia politik. Mereka yang tidak bisa mengikuti laju perkembangan teknologi akan tertinggal dari arus laju perkembangan masyarakat yang menjadi tujuan utama proses perpolitikan.
Dalam salah satu bukunya yang berjudul “Demokrasi di Tangan Netizen”, Fayakhun Andriadi memaparkan berbagai macam bentuk teori dalam dunia politik. Salah satu pokok pembahasan paling menarik dari buku tersebut adalah mengenai perkembangan dunia digital dan pengaruhnya terhadap dunia politik. Fayakhun melihat bahwa dunia digital memiliki prospek yang cerah dalam hal perannya untuk memberdayakan perilaku demokrasi dalam masyarakat modern.
Lebih lanjut dijelaskan, prospek selalu satu paket dengan tantangan. Tak ada prospek yang tak diiringi dengan tantangan. Demokrasi digital juga demikian. Wilhelm (2003) pernah mengajukan beberapa pandangannya mengenai tantangan yang akan dihadapi dalam implementasi konsep demokrasi digital. Menurut Wilhelm, ada empat tantangan demokrasi digital yang akan kita hadapi. Setelah dalam tulisan sebelumnya dibahas tantangan pertama, pada tulisan kali ini akan dibahas mengenai tantangan berikutnya.
Tantangan kedua, memastikan bahwa pelayanan berbasis digital bisa diakses oleh setiap bagian dari masyarakat, termasuk pada golongan masyarakat marginal (terpinggirkan). Ini efek yang bisa timbul karena poin pertama yang dibahas pada tulisan sebelumnya. Karena akses terbatas, dan bahkan eksklusif, maka muncul kalangan yang termarginalkan dari dunia digital. Mereka terpinggirkan, tidak memiliki akses terhadap teknologi digital. Menurut Wilhelm, tantangan ini harus diatasi untuk suksesnya demokrasi digital.
Ketiga, tantangan yang diajukan oleh apa yang Castells sebut sebagai “bangkitnya masyarakat jaringan kerja”. Bangkitnya masyarakat kerja dalam istilah yang dipakai oleh Castells tersebut adalah kecakapan yang mengikis kerja jarak metodik dari pembuatan keputusan yang demokratis. Kecakapan yang mengikis kerja jarak metodik tadi dapat terjadi kaena ritme dan kecepatan yang tidak pararel dalam sejarah manusia. Akankah kualitas diskusi, debat, dan kebebasan dalam ruang publik yang baru ini akan terjebak dalam banalitas semata atau bisa bertahan dalam melayani tujuan-tujuan demokrasi?